Pengertian Dedikasi
Asal-usul kata “dedikasi”. Ternyata ia berakar dari bahasa Latin dedicatio, menyatakan, mengumumkan. Tatkala seseorang menenggelamkan diri (immerse oneself)
dalam suatu sikap yang tulus pada satu subyek yang dianggap baik
dengan kondisi khidmat, itulah maksud awalnya. Merujuk bahasa aslinya,
ia terkait dengan altar, candi, tempat pemujaan, dimana orang
menundukkan diri pada yang sakral. Dalam perkembangannya ia juga
bermakna, ketika seseorang mempatronkan diri dan mendukung penuh sosok
tertentu, dengan penuh “kasih sayang” (affection) dan penghormatan. Dalam kamus bahasa Inggris, dedicate artinya mempersembahkan atau membaktikan. Dan dalam bahasa kita, pengertian umum tentang dedikasi, terkait dengan hal-ihwal dharma-bhakti.
Bila ada seseorang yang serius mengurus organisasi, dan semua orang tahu bahwa ia nothing to loose, maka orang itu telah menunjukkan dharma-bhakti-nya
yang luar biasa. Ia “setia” pada pekerjaan dan almamaternya. Dalam
kasus para guru-bantu yang belakangan sering melakukan demonstrasi
supaya diangkat “derajatnya” itu, mereka telah men-dharma-bhakti-kan
tenaga dan pikirannya selama bertahun-tahun dengan imbalan sekedarnya.
Atau, mungkin kalau seseorang setia pada profesinya, maka ia adalah
seorang yang berdedikasi. Misalnya sastrawan kita Taufiq Ismail yang
konsisten dengan kepenyairannya. Atau seorang tukang sapu jalanan yang
nyaris pekerjannya sejak muda cuma itu saja. Kalau dedikasi dalam
politik? Lebih-lebih dedikasi dalam partai politik? Gini saja: bayangkan
diri Anda saat ini adalah salah satu tim penilai para bakal caleg satu
partai tertentu. Anda akan mendapatkan jawabannya.
Kalau loyalitas? Kata dasarnya “loyal”. Loyalty is faithfulness or a devotion to a person or cause.
Makna umumnya di sini kesetiaan atau kepatuhan. Patuh pada sosok atau
sistem alias aturan? Organisasi modern mengkondisikan loyalitas pada
aturan, bukan person. Tetapi pada praktiknya loyalitas selalu
disimpangkan sebagai kesetiaan pada person. Dalam politik setia pada
person yang berposisi sebagai patron itu wajar-wajar saja. Dalam suatu
model persaingan politik yang zero sum game,
faksi-faksi politik mengerucut pada loyalitas person. Konsekuensinya,
tatkala person tertentu yang unggul, maka “rombongannya” ikut
“selamat”. Kalau kalah, “diberantas”, kecuali apa yang kerap
diistilahkan “berkaki dua” atau “main mata” sejak awal, atau seperti
istilah yang dipopulerkan juga media massa “menjadi brutus”.
Apakah pemimpin butuh loyalitas anak-buah? Pastinya. Dalam soal loyalitas, pemimpin sekaliber Nelson Mandela pun mengaku mengharapkannya. Tetapi, ia tidak terlampau terobsesi dengannya. Katanya, “people act in their own interest.”
Benar. Itu alamiah. Ia tidak percaya bahwa daya pesona saja mampu
membuat mereka patuh. Yang penting membuat mereka percaya atas
kepemimpinan kita. Jadi loyalitas, terkait dengan kualitas kepengikutan (follower) dan pastinya kepemimpinan. Jadi, apa loyalitas itu?